.quickedit{ display:none; }

Penjelasan Larangan Wanita Pergi Sendiri

بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين, والصلاة والسلام على أشرف المرسلين. أما بعد :
Penjelasan Larangan Wanita Pergi SendiriPertanyaan : Assalamualaikum.

saya pernah membaca hadis dalam buku sahih Bukhari Muslim :

Diriwayatkan dari Abu Hurairah -radhiallahu 'anhu- katanya : Rasulullah -sholallahu 'alaihi wasallam- bersabda : "Haram bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari Akhirat mushafir, di mana perjalanannya melebihi dari tiga hari melainkan bersama ayah, anak lelaki, suami, saudara lelaki atau siapa saja mahramnya yang lain."

pertanyaan saya :

1. apakah mushafir itu maksudnya disini hanya "dalam perjalanan" atau ada syarat-syarat lain bagi seseorang untuk bisa dikatakan mushafir?
2. Apakah saudara sejenis (misalnya seorang wanita, dengan adiknya yang wanita juga), teman sejenis, atau keluarga yang lain yang sejenis itu dapat dikatakan mahram?
3. jika jawaban pertanyaan nomor 2 bukan mahramnya, lantas apakah wanita tidak boleh melakukan mushafir 3 hari (berdasarkan hadis di atas) hanya dengan kerabat sejenis mohon penjelasannya dari anda.

terima kasih.

Oji, Kal-Sel

Jawaban : Wa'alaikum salam warahmatullah wabarakatuh

Riwayat yang menyatakan tentang larangan wanita bepergian kecuali tanpa mahram sangatlah banyak. seperti yang anda cantumkan yang menyebutkan batasan 3 hari. ada pula yang menyebutkan larangan bepergian 2 hari, ada pula yang satu hari, ada pula larangan secara mutlak wanita bepergian tanpa mahram.

  • Dalil Tentang Larangan Wanita Bepergian 3 Hari
  • Dalil Tentang Larangan Wanita Bepergian 2 Hari
  • Dalil Tentang Larangan Wanita Bepergian 1 Hari
  • Dalil Tentang Larangan Wanita Bepergian Sejauh 12 Mil
  • Penjelasan Yang Disebut Bepergian Bagi Wanita
  • Daftar Mahram Bagi Wanita
  • Penjelasan Wanita Bepergian Bersama Saudara Sejenisnya


-
Dalil Tentang Larangan Wanita Bepergian 3 Hari Kecuali Bersama Mahram :

لا يحل لامرأة تؤمن بالله واليوم الآخر تسافر سفرا ثلاثة أيام فصاعدا إلا ومعها ذو محرم أبوها أو ابنها أو أخوها أو زوجها أو ذو محرم

Artinya : "Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk bepergian 3 hari atau lebih kecuali bersama mahramnya, ayahnya, anaknya, saudara laki-lakinya, suaminya, atau yang termasuk mahramnya."

لا تسافر المرأة فوق ثلاث الا مع ذي محرم

Artinya : "Tidak (boleh) wanita bepergian diatas 3 (hari) kecuali bersama mahramnya."

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى أن تسافر المرأة ثلاثا إلا ومعها ذو محرم

Artinya : "Bahwa Rosulullah -sholallahu 'alaihi wasallam- melarang wanita untuk bepergian 3 (hari) kecuali bersama mahramnya."

لا تسافر امرأة ثلاثة أيام فصاعدا إلا مع أبيها أو ابنها أو أخيها أو زوجها أو ذي محرم

Artinya : "Tidak boleh wanita bepergian 3 hari lebih kecuali bersama ayahnya, anaknya, saudara laki-lakinya, suaminya atau mahramnya."

- Dalil Tentang Larangan Wanita Bepergian 2 Hari Kecuali Bersama Mahram :

لا تسافر المرأة يومين إلا مع زوجها أو ذي محرم

Artinya : "Tidak boleh wanita bepergian 2 hari kecuali bersama suaminya atau mahramnya."

لا تسافر المرأة مسيرة يومين وليلتين إلا ومعها زوجها أو ذو محرم

Artinya : "Tidak boleh wanita bepergian sejauh perjalanan 2 hari 2 malam kecuali bersama bersama suaminya atau mahramnya."

- Dalil Tentang Larangan Wanita Bepergian 1 Hari Kecuali Bersama Mahram :

لا يحل لامرأة تؤمن بالله واليوم الآخر تسافر يوما إلا ومعها ذو محرم

Artinya : "Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk bepergian 1 hari kecuali bersama mahramnya."

لا يحل لامرأة تؤمن بالله واليوم الآخر أن تسافر مسيرة يوم وليلة إلا مع ذي محرم

Artinya : "Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk bepergian sejauh perjalanan sehari semalam kecuali bersama mahramnya."

- Dalil Tentang Larangan Wanita Bepergian Sejauh 12 Mil Kecuali Dengan Mahram :

لا تسافر امرأة بريدا إلا ومعها ذو محرم

Artinya : "Tidak boleh wanita bepergian sejauh barid kecuali bersama mahram." Abu Bakar berkata : Barid adalah 12 mil.

Dan masih banyak lagi riwayat hadits dengan lafadz yang berbeda-beda. sebab bedanya lafadz-lafadz tersebut karena bedanya para penanya sebagaimana yang dijelaskan Imam An-Nawawi. sebagian menanyakan 3 hari, sebagian lain menanyakan 2 hari, sebagian lain lagi menanyakan 1 hari. ada pula 12 mil. akan tetapi semua hadits diatas tidak ada yang bertentangan satu sama lain. karena Rosulullah -sholallahu 'alaihi wasallam- juga bersabda yang menggabungkan semua hadits diatas :

لا تسافر امرأة الا مع ذي محرم

Artinya : "Tidaklah (boleh) wanita bepergian kecuali bersama mahram."

Pada hadits diatas, Rosulullah -sholallahu 'alaihi wasallam- tidak menyebutkan batasan bepergian atau jarak bepergiannya. akan tetapi dengan lafadz umum yang mencakup semua larangan diatas. yaitu larangan wanita untuk bepergian secara mutlak kecuali bersama mahramnya.

- Penjelasan Yang Disebut Bepergian Bagi Wanita

Pada semua lafadz hadits diatas disebutkan kata "safar" yang berarti bepergian. dan bukan yang dimaksud "safar" disini seperti bepergian dengan jarak yang diperbolehkan untuk meng-qoshor sholat. karena ulama juga berbeda pendapat tentang jarak orang disebut musafir.

Sebagaimana yang disebut dalam hadits terakhir diatas, maksud bepergian disini adalah semua yang disebut bepergian, entah berapapun jaraknya. karena dalam masalah ini, bukan jarak yang menyebabkan larangan tersebut, akan tetapi aktifitas bepergian tanpa mahram itu sendiri yang dilarang.

Jika disuatu tempat, orang-orang disana menyebut bahwa seseorang yang keluar dari kampung disebut sebagai orang yang bepergian, maka dia telah bepergian (musafir).

- Daftar Mahram Bagi Wanita

Allah telah menyebutkan siapa saja yang menjadi mahram bagi seorang wanita. Allah berfirman :

وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ

Artinya : "Dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka." (QS An-Nur : 31)

Para mahram yang disebutkan dalam ayat diatas dan selainnya adalah :

1. Suami.
2. Anak laki-lakinya atau seterusnya.
3. Anak laki-laki suaminya (yang bukan dari rahimnya) atau seterusnya.
4. Saudara laki-laki seibu sebapak, atau sebapak saja, atau seibu saja.
5. Anak laki-laki dari saudara laki-lakinya atau seterusnya.
6. Anak laki-laki dari saudara perempuannya atau seterusnya.
7. Ayahnya atau seterusnya.
8. Saudara laki-laki sepersusuan. kerena saudara sepersusuan memiliki hukum seperti saudara kandung.
9. Suami ibunya dan seterusnya.
10. Suami anaknya dan seterusnya.
11. Ayah suaminya (ayah mertua).

Semua yang disebut mahram adalah laki-laki. adapun saudara perempuan tidak disebut mahram. karena mahram artinya laki-laki yang diharamkan untuk menikahinya karena sebab nasab, persusuan atau mushoharoh.

- Penjelasan Wanita Bepergian Bersama Saudara Sejenisnya

Dalam hadits diatas sangatlah jelas akan larangan wanita bepergian. dan Syariat hanya membolehkan wanita bepergian dengan suami atau mahramnya. dan bepergian bersama saudara-saudara sejenisnya tetap masuk dalam larangan diatas.

Walaupun Imam Malik membolehkan wanita pergi sendiri atau dengan sejenisnya untuk haji wajib. sebagian ulama membolehkan wanita bepergian sendiri atau dengan sejenisnya untuk ibadah yang wajib seperti haji wajib, umrah wajib, atau menuntut ilmu. akan tetapi ini adalah pendapat yang marjuh (ada pendapat yang lebih kuat dari pada ini).

Adapun pendapat yang paling kuat adalah bahwa wanita dilarang bepergian untuk keperluan apapun. entah itu haji wajib, umrah wajib atau yang lainnya. apa lagi bepergian untuk keperluan yang mubah saja entah berapapun itu jarak dan masanya kecuali bersama mahramnya sebagaimana yang dijelaskan pada hadits-hadits diatas.

Perlu diingat. larangan yang menyebutkan 3 hari, 2 hari atau 1 hari bukan berarti wanita boleh bepergian dari Jakarta ke Kuala Lumpur tanpa mahram karena jarak Jakarta-KL hanya 1 jam dengan pesawat. akan tetapi maksud dari jarak perjalanan 3, 2 atau 1 hari adalah dengan jalan kaki sebagaimana zaman Rosulullah -sholallahu 'alaihi wasallam- dahulu. juga terdapat hadits yang melarang bepergian dengan jarak 12 mil kecuali bersama mahram. dan yang jelas, larangan apapun yang disebut bepergian secara mutlak kecuali bersama mahram pada hadits terakhir yang disebutkan diatas.

Wabillahi at-taufiq
Read more >>

Kafir Quraisy Juga Mengenal Allah dan Rajin Ibadah

Kaum muslimin, semoga Allah meneguhkan kita di atas Islam yang haq. Sesungguhnya salah satu penyebab utama kemunduran dan kelemahan umat Islam pada masa sekarang ini adalah karena mereka tidak memahami hakikat kejahiliyahan yang menimpa bangsa Arab di masa silam. Mereka menyangka bahwasanya kaum kafir Quraisy jahiliyah adalah orang-orang yang tidak beribadah kepada Allah sama sekali. Atau lebih parah lagi mereka mengira bahwasanya kaum kafir Quraisy adalah orang-orang yang tidak beriman tentang adanya Allah [?!] Duhai, tidakkah mereka memperhatikan ayat-ayat Al-Qur’an dan lembaran sejarah yang tercatat rapi dalam kitab-kitab hadits ?
Kaum Kafir Quraisy Betul-Betul Mengenal Allah
Janganlah terkejut akan hal ini, cobalah simak firman Allah ta’ala,
Dalil pertama, Allah ta’ala berfirman,
“Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab: “Allah”. Maka katakanlah “Mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?” (QS. Yunus [10]: 31)
Dalil kedua, firman Allah ta’ala,
“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: “Allah”, maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?” (QS. az-Zukhruf : 87)
Dalil ketiga, firman Allah ta’ala,
“Dan sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya?” Tentu mereka akan menjawab: “Allah”, Katakanlah: “Segala puji bagi Allah”, tetapi kebanyakan mereka tidak memahami(nya).” (QS. al-’Ankabut: 63)
Dalil keempat, firman Allah ta’ala,
“Atau siapakah yang memperkenankan (do’a) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo’a kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi ? Apakah disamping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati(Nya).” (QS. an-Naml: 62)
Perhatikanlah! Dalam ayat-ayat di atas terlihat bahwasanya orang-orang musyrik itu mengenal Allah, mereka mengakui sifat-sifat rububiyyah-Nya yaitu Allah adalah pencipta, pemberi rezeki, yang menghidupkan dan mematikan, serta penguasa alam semesta. Namun, pengakuan ini tidak mencukupi mereka untuk dikatakan muslim dan selamat. Kenapa? Karena mereka mengakui dan beriman pada sifat-sifat rububiyah Allah saja, namun mereka menyekutukan Allah dalam masalah ibadah. Oleh karena itu, Allah katakan terhadap mereka,
“Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).” (QS. Yusuf : 106)
Ibnu Abbas mengatakan, “Di antara keimanan orang-orang musyrik: Jika dikatakan kepada mereka, ‘Siapa yang menciptakan langit, bumi, dan gunung?’ Mereka akan menjawab, ‘Allah’. Sedangkan mereka dalam keadaan berbuat syirik kepada-Nya.”
‘Ikrimah mengatakan,”Jika kamu menanyakan kepada orang-orang musyrik: siapa yang menciptakan langit dan bumi? Mereka akan menjawab: Allah. Demikianlah keimanan mereka kepada Allah, namun mereka menyembah selain-Nya juga.” (Lihat Al-Mukhtashor Al-Mufid, 10-11)
Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan bahwa kaum musyrikin pada masa itu mengakui Allah subhanahuwata’ala adalah pencipta, pemberi rezki serta pengatur urusan hamba-hamba-Nya. Mereka meyakini di tangan Allah lah terletak kekuasaan segala urusan, dan tidak ada seorangpun diantara kaum musyrikin itu yang mengingkari hal ini (lihat Syarh Kitab Kasyfu Syubuhaat) Dan janganlah anda terkejut apabila ternyata mereka pun termasuk ahli ibadah yang mempersembahkan berbagai bentuk ibadah kepada Allah ta’ala.
Kafir Quraisy Rajin Beribadah
Anda tidak perlu merasa heran, karena inilah realita. Syaikh Muhammad At Tamimi rahimahullah menceritakan bahwasanya kaum musyrikin yang dihadapi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang-orang yang rajin beribadah. Mereka juga menunaikan ibadah haji, bersedekah dan bahkan banyak berdzikir kepada Allah. Di antara dalil yang menunjukkan bahwa orang-orang musyrik juga berhaji dan melakukan thowaf adalah dalil berikut.
Dan telah menceritakan kepadaku Abbas bin Abdul ‘Azhim Al Anbari telah menceritakan kepada kami An Nadlr bin Muhammad Al Yamami telah menceritakan kepada kami Ikrimah bin Ammar telah menceritakan kepada kami Abu Zumail dari Ibnu Abbas ia berkata; Dulu orang-orang musyrik mengatakan; “LABBAIKA LAA SYARIIKA LAKA (Aku memenuhi panggilanMu wahai Dzat yang tiada sekutu bagiMu). Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Celakalah kalian, cukuplah ucapan itu dan jangan diteruskan.” Tapi mereka meneruskan ucapan mereka; ILLAA SYARIIKAN HUWA LAKA TAMLIKUHU WAMAA MALAKA (kecuali sekutu bagi-Mu yang memang Kau kuasai dan ia tidak menguasai).” Mereka mengatakan ini sedang mereka berthawaf di Baitullah. (HR. Muslim no. 1185)
Mengomentari pernyataan Syaikh Muhammad At Tamimi di atas, Syaikh Shalih Al-Fauzan mengatakan bahwa kaum musyrikin Quraisy yang didakwahi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kaum yang beribadah kepada Allah, akan tetapi ibadah tersebut tidak bermanfaat bagi mereka karena ibadah yang mereka lakukan itu tercampuri dengan syirik akbar. Sama saja apakah sesuatu yang diibadahi disamping Allah itu berupa patung, orang shalih, Nabi, atau bahkan malaikat. Dan sama saja apakah tujuan pelakunya adalah demi mengangkat sosok-sosok tersebut sebagai sekutu Allah atau bukan, karena hakikat perbuatan mereka adalah syirik. Demikian pula apabila niatnya hanya sekedar menjadikan sosok-sosok itu sebagai perantara ibadah dan penambah kedekatan diri kepada Allah. Maka hal itu pun dihukumi syirik (lihat Syarh Kitab Kasyfu Syubuhaat, Syaikh Shalih Al-Fauzan)
Dua Pelajaran Berharga
Dari sepenggal kisah di atas maka ada dua buah pelajaran berharga yang bisa dipetik.
Pertama; pengakuan seseorang bahwa hanya Allah lah pencipta, pemberi rezki dan pengatur segala urusan tidaklah cukup untuk membuat dirinya termasuk dalam golongan pemeluk agama Islam. Sehingga sekedar mengakui bahwasanya Allah adalah satu-satunya pencipta, penguasa dan pengatur belum bisa menjamin terjaganya darah dan hartanya. Bahkan sekedar meyakini hal itu belum bisa menyelamatkan dirinya dari siksaan Allah.
Kedua; apabila peribadatan kepada Allah disusupi dengan kesyirikan maka hal itu akan menghancurkan ibadah tersebut. Oleh sebab itu ibadah tidak dianggap sah apabila tidak dilandasi dengan tauhid/ikhlas (lihat Syarh Kitab Kasyfu Syubuhaat, Syaikh Shalih Al-Fauzan)
Dengan demikian sungguh keliru anggapan sebagian orang yang mengatakan bahwasanya tauhid itu cukup dengan mengakui Allah sebagai satu-satunya pencipta dan pemelihara alam semesta. Dan dengan modal anggapan yang terlanjur salah ini maka merekapun bersusah payah untuk mengajak manusia mengenali bukti-bukti alam tentang keberadaan dan keesaan wujud-Nya dan justru mengabaikan hakikat tauhid yang sebenarnya. Atau yang mengatakan bahwa selama orang itu masih mengucapkan syahadat maka tidak ada sesuatupun yang bisa membatalkan keislamannya. Atau yang membenarkan berbagai macam praktek kesyirikan dengan dalih hal itu dia lakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Atau yang mengatakan bahwa para wali yang sudah meninggal itu sekedar perantara untuk bisa mendekatkan diri mereka yang penuh dosa kepada Allah yang Maha Suci. Lihatlah kebanyakan praktek kesyirikan yang merebak di tengah-tengah masyarakat Islam sekarang ini, maka niscaya alasan-alasan semacam ini -yang rapuh serapuh sarang laba-laba- yang mereka lontarkan demi melapangkan jalan mereka untuk melestarikan tradisi dan ritual-ritual syirik.
‘Kita ‘Kan Tidak Sebodoh Kafir Quraisy’
Barangkali masih ada orang yang bersikeras mengatakan,“Jangan samakan kami dengan kaum kafir Qurasiy. Sebab kami ini beragama Islam, kami cinta Islam, kami cinta Nabi, dan kami senantiasa meyakini Allah lah penguasa jagad raya ini, tidak sebagaimana mereka yang bodoh dan dungu itu!” Allahu akbar, hendaknya kita tidak terburu-buru menilai orang lain bodoh dan dungu sementara kita belum memahami keadaan mereka. Saudaraku, cermatilah firman Allah ta’ala,
“Katakanlah; ‘Milik siapakah bumi beserta seluruh isinya, jika kalian mengetahui ?’ Maka niscaya mereka akan menjawab, ‘Milik Allah’. Katakanlah,’Lalu tidakkah kalian mengambil pelajaran ?’ Dan tanyakanlah; ‘Siapakah Rabb penguasa langit yang tujuh dan pemilik Arsy yang agung ?’ Niscaya mereka menjawab,’Semuanya adalah milik Allah’ Katakanlah,’Tidakkah kalian mau bertakwa’ Dan tanyakanlah,’Siapakah Dzat yang di tangannya berada kekuasaan atas segala sesuatu, Dia lah yang Maha melindungi dan tidak ada yang sanggup melindungi diri dari azab-Nya, jika kalian mengetahui ?’ Maka pastilah mereka menjawab, ‘Semuanya adalah kuasa Allah’ Katakanlah,’Lantas dari jalan manakah kalian ditipu?.’” (QS. Al-Mu’minuun: 84-89)
Nah, ayat-ayat di atas demikian gamblang menceritakan kepada kita tentang realita yang terjadi pada kaum musyrikin Quraisy dahulu. Meyakini tauhid rububiyah tanpa disertai dengan tauhid uluhiyah tidak ada artinya. Maka sungguh mengherankan apabila ternyata masih ada orang-orang yang mengaku Islam, rajin shalat, rajin puasa, rajin naik haji akan tetapi mereka justru berdoa kepada Husain, Badawi, Abdul Qadir Al-Jailani. Maka sebenarnya apa yang mereka lakukan itu sama dengan perilaku kaum musyrikin Quraisy yang berdoa kepada Laata, ‘Uzza dan Manat. Mereka pun sama-sama meyakini bahwa sosok yang mereka minta adalah sekedar pemberi syafaat dan perantara menuju Allah. Dan mereka juga sama-sama meyakini bahwa sosok yang mereka jadikan perantara itu bukanlah pencipta, penguasa jagad raya dan pemeliharanya. Sungguh persis kesyirikan hari ini dengan masa silam. Sebagian orang mungkin berkomentar, “Akan tetapi mereka ini ‘kan kaum muslimin” Syaikh Shalih Al-Fauzan menjawab,“Maka kalau dengan perilaku seperti itu mereka masih layak disebut muslim, lantas mengapa orang-orang kafir Quraisy tidak kita sebut sebagai muslim juga ?! Orang yang berpendapat semacam itu tidak memiliki pemahaman ilmu tauhid dan tidak punya ilmu sedikitpun, karena sesungguhnya dia sendiri tidak mengerti hakikat tauhid” (lihat Syarh Kitab Kasyfu Syubuhaat, Syaikh Shalih Al-Fauzan)
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi dan Muhammad Abduh Tuasikal
Read more >>

Larangan Beribadah Di Kuburan

Oleh Abu Nida` Chomsaha Sofwan
Di dalam al Qur`an, Allah telah menyifati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salllam dengan banyak sifat terpuji. Di antaranya, Allah menyifati beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai seorang yang sangat menginginkan keimanan dan keselamatan umat ini, dan amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. Salah satu bentuk kesempurnaan keinginan beliau n yang kuat agar umatnya beriman dan selamat adalah, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan ummatnya dari segala sarana yang dapat menggiring kepada kesyirikan, dan menutup seluruh celah yang dapat mengantarkan kepada perbuatan syirik.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam benar-benar bersikap keras dan tegas dalam masalah syirik. Bahkan, khawatir dianggap luput menekankan bahayanya, perihal syirik ini masih juga dijelaskan saat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mendekati masa-masa sakaratul maut.
Salah satu sarana dan celah yang dapat mengantarkan kepada perbuatan syirik, yaitu beribadah kepada Allah di sisi kuburan orang shalih. Perbuatan ini telah menjadi fenomena yang telah lama ada, dan bahkan menjadi kebiasaan sebagian besar kaum muslimin di negeri ini. Bahkan bukan lagi beribadah kepada Allah di sisi kuburan orang shalih tersebut, tetapi telah beribadah kepada orang shalh yang menghuni kuburan tersebut.
Kuburan-kuburan orang shalih atau tempat-tempat yang konon merupakan lokasi kuburan orang shalih dikunjungi, lalu melakukan beragam peribadahan di sisinya, seperti: berdoa, shalat, membaca al Qur`an, thawaf, sedekah dan sebagainya.
Padahal dari hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dapat diketahui, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat keras sikap nya terhadap orang-orang yang beribadah kepada Allah di sisi kuburan orang yang shalih. Kalau beribadah kepada Allah di sisi kubur saja, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersikap keras, tentu akan lebih keras lagi jika sampai beribadah kepada penghuni kubur tersebut.
Berikut adalah hadits-hadits mengenai larangan tersebut :
1. Diriwayatkan di dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, dari’ Aisyah Radhiyallahu ‘anha, bahwa Ummu Salamah Radhiyallahu ‘anha (salah seorang istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) menceritakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang gereja dengan rupaka-rupaka di dalamnya yang dilihatnya di Negeri Habasyah (Ethiopia). Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Mereka itu, apabila ada orang yang shalih -atau hamba yang shalih- meninggal di antara mereka- mereka bangun di atas kuburnya sebuah tempat ibadah, dan mereka buat di dalam tempat itu gambar-gambar mereka; mereka itulah makhluk yang paling buruk di hadapan Allah.
Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam “mereka itulah makhluk yang paling buruk di hadapan Allah” menunjukkan haramnya membangun masjid-masjid di atas pekuburan, dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang melakukan hal itu. Perbuatan itu merupakan sarana yang mengantarkan kepada kekufuran dan kesyirikan, yang secara nyata merupakan kezhaliman yang paling besar.
Al Baidhawi berkata: “Tatkala orang-orang Yahudi dan Nasrani bersujud kepada kuburan para nabi dengan maksud mengagungkan derajat mereka, dan menjadikan kuburan-kuburan tersebut sebagai kiblat, yang mereka menghadap dalam shalat, serta menjadikannya sebagai berhala-berhala, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat mereka”.
Imam al Qurthubi berkata,”Mula-mula, para pendahulu mereka memahat gambar-gambar tersebut agar mereka dapat menjadikannya sebagai suri teladan dan mengenang perbuatan-perbuatan shalih mereka, sehingga dapat memiliki kesungguhan beribadah yang sama seperti mereka; karenanya, mereka beribadah kepada Allah di sisi kuburan-kuburan mereka. Kemudian setelah mereka meninggal, datanglah generasi yang tidak mempunyai pengetahuan yang cukup terhadap agama, sehingga tidak mengerti maksud dari pendahulu mereka tersebut; lalu setan merasuki mereka dengan menyatakan, bahwa para pendahulu mereka tersebut sebenarnya telah menyembah rupaka-rupaka ini dan mengagungkannya. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang terjadinya hal tersebut untuk menutup segala hal yang dapat mengarah ke perbuatan tersebut.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,”(Mereka dikatakan sebagai makhluk yang paling buruk), karena memadukan dua fitnah sekaligus. Yaitu fitnah memuja kuburan dengan membangun tempat ibadah di atasnya dan fitnah membuat gambar-gambar.” Keduanya disebut fitnah, karena memalingkan manusia dari agama.
Beliau rahimahullah juga berkata,”Hal inilah yang dipakai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai alasan untuk melarang membangun masjid-masjid di atas kuburan-kuburan, karena telah banyak menjerumuskan umat-umat sebelumnya, baik ke dalam syirik besar maupun syirik lainnya yang lebih ringan. Banyak orang cenderung melakukan perbuatan syirik terhadap patung orang shalih dan patung-patung yang mereka anggap bahwa ia merupakan garis-garis rajah dari bintang-bintang, dan hal lain yang serupa dengan bintang. Ini terjadi, karena berbuat syirik dengan menyembah kuburan orang yang diyakini keshalihannya lebih terasa di dalam jiwa, daripada berbuat syirik dengan menyembah pohon atau batu.
Oleh karena itu pula, Anda mendapatkan ahli syirik memohon di sisi kuburan dengan penuh kesungguhan, penuh kekhusyuan dan sikap berserah diri, serta menyembahnya dengan sepenuh hati, padahal ibadah yang seperti itu tidak pernah mereka lakukan di rumah-rumah Allah ataupun di waktu tengah malam menjelang Subuh. Di antara mereka ada yang bersujud kepada kuburan itu. Ketika melakukan shalat dan berdoa di sisi kuburan tersebut, kebanyakan mereka mengharapkan keberkahan, yang tidak pernah mereka harapkan ketika berada di masjid-masjid.
Lantaran perbuatan tersebut dapat menimbulkan kerusakan, maka dengan tanpa ragu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengikisnya. Sampai-sampai beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang shalat di pekuburan secara mutlak, meskipun orang melakukannya tidak dengan maksud mengharapkan berkah tempat tersebut sebagaimana ia mengharapkannya ketika shalat di dalam masjid.
Begitu pula beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang umatnya melakukan shalat pada waktu terbit dan tenggelamnya matahari, karena waktu-waktu tersebut digunakan oleh kaum musyrikin untuk menyembah matahari. Karenanya, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang umatnya shalat pada waktu-waktu tersebut, meskipun mereka tidak memiliki tujuan yang sama dengan tujuan kaum musyrikin tadi. Hal ini sebagai upaya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menutup rapat celah-celah menuju kesyirikan.
Adapun bila seseorang melakukan shalat di sisi kuburan dengan maksud untuk mendapatkan keberkahan melalui shalat di sisi kuburan tersebut, maka ini jelas merupakan sikap memusuhi Allah dan RasulNya, melanggar aturan agamaNya, mengada-adakan sesuatu di dalam agama yang tidak pernah Allah izinkan. Kaum muslimin telah bersepakat secara ijma’, bahwa di antara perkara-perkara mendasar dalam agama, yaitu mengetahui bahwa shalat di sisi kuburan adalah dilarang.
Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mengfungsikan kuburan sebagai masjid. Karena itu, di antara perbuatan mengada-ada (bid’ah) yang paling besar dan merupakan sebab-sebab terjadinya kesyirikan adalah melakukan shalat di sisi kuburan dan mengfungsikannya sebagai masjid, serta mendirikan masjid-masjid di atasnya. Nash-nash dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang melarang hal itu, dan memperingatkan pelakunya secara keras sangatlah banyak dan mutawatir. Seluruh kelompok umat secara jelas dan terang-terangan melarang untuk mendirikan masjid-masjid di atasnya, karena mereka mengikuti sunnah yang shahih dan sharih (jelas).
Para ulama pengikut Imam Ahmad dan ulama yang lain, yakni pengikut Imam Malik dan Imam Syafi’i, secara terang-terangan mengharamkan perbuatan tersebut. Ada juga yang menyatakan, hal itu sebagai perbuatan makruh, namun sepatutnya membawa maknanya kepada karahah at tahrim (makruh yang berindikasi pengharaman) sebagai tanda bersangka baik kepada para ulama yang menyatakan demikian, sehingga mereka tidak disangka membolehkan perbuatan yang secara mutawatir dilarang oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pelakunya beliau laknat.”
2. Diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha, bahwa ia pernah berkata: Tatkala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak diambil nyawanya, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun segera menutupkan kain di atas mukanya, lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam buka lagi kain itu tatkala terasa menyesakkan napas. Ketika dalam keadaan demikian, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Semoga laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani, mereka menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai tempat ibadah (masjid)”.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan hal itu saat mendekati kematiannya, untuk memperingatkan umatnya dari perbuatan mereka (Yahudi dan Nasrani) itu. Seandainya bukan karena peringatan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut, niscaya kubur beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan ditampakkan; hanya saja beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam khawatir, jika (kubur beliau) akan dijadikan sebagai tempat ibadah.”
Syaikh Shalih Alu asy Syaikh menjelaskan, ada tiga bentuk menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah.
Pertama : Menjadikan kuburan itu sebagai tempat sujudnya. Bentuk yang paling bisa dipahami dari perkataan ‘mereka menjadikan kuburan tersebut sebagai masjid’ ialah, menjadikan kuburan sebagai masjid. Yaitu tempat melakukan shalat dan sujud di atasnya. Demikian ini jelas merupakan sarana yang sangat berbahaya, dan paling merusak yang mengantarkan kepada syirik dan berlaku ghuluw kepada kuburan.
Kedua : Shalat ke arah kuburan. Makna menjadikan kuburan sebagai masjid dalam bentuk ini, yaitu seseorang shalat di hadapan kuburan dengan menjadikannya sebagai kiblatnya. Dengan kondisi ini, dia telah menjadikan kuburan sebagai tempat ia merendahkan dan menghinakan dirinya.
Masjid di sini bukan lagi semata-mata berarti tempat sujud –meletakkan dahi di atas tanah–, tetapi berarti tempat merendahkan dan menghinakan diri. Mereka menjadikan kuburan para nabi sebagai masjid, maksudnya, menjadikannya sebagai kiblat. Karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang shalat ke arah kuburan, karena merupakan salah satu sarana kepada sikap pengagungan kuburan.
Ketiga : Menjadikan kuburan berada di dalam suatu bangunan, dan bangunan itu adalah masjid. Jika yang dikubur itu seorang nabi, maka mereka membuat bangunan di atasnya. Mereka lantas menjadikan di sekeliling kuburan itu sebagai masjid dan menjadikan tempat itu sebagai tempat beribadah dan shalat.
Adapun perkataan ‘Aisyah bahwa ‘beliau memperingatkan (umatnya) dari perbuatan mereka (Yahudi dan Nasrani)’, maka di dalamnya terdapat isyarat yang menjadi penyebabnya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang sedang dalam keadaan sakaratul maut, melaknat Yahudi dan Nasrani dalam hadits ini. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin memperingatkan para sahabatnya agar jangan sampai mengikuti langkah-langkah kedua Ahli Kitab tersebut. Dan ternyatalah mereka, para sahabat, menerima peringatan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu dan mengamalkan wasiat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kemudian perkataan ‘Aisyah ‘dan seandainya bukan karena hal itu, niscaya kuburan beliau ditampakkan’. Maksudnya, kalau bukan karena peringatan dan kekhawatiran beliau n bahwa kuburan beliau dijadikan masjid oleh umatnya sebagaimana orang Yahudi dan Nasrani, niscaya kuburan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di luar rumahnya, berdampingan dengan kuburan-kuburan para sahabat di Baqi atau selainnya. Di samping alasan ini, ada juga alasan lain, yaitu sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang disampaikan oleh Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu:
“Sesungguhnya para nabi itu dikuburkan di mana mereka diwafatkan”.
Adapun Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah dimaklumi, bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat di dalam rumah ‘Aisyah.
Kemudian perkataan ‘Aisyah selanjutnya ‘hanya saja beliau khawatir (kuburannya) akan dijadikan sebagai tempat ibadah’, terdapat dua riwayat.
Berdasarkan riwayat pertama, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendirilah yang mengkhawatirkan hal tersebut, sehingga beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan ummatnya untuk menguburkannya di tempat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat. Sedangkan berdasarkan riwayat kedua, maka kemungkinan yang mengkhawatirkan hal itu adalah para sahabat. Artinya, mereka khawatir hal itu terjadi pada sebagian umat sehingga mereka pun tidak menampakkan kuburan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , karena dikhawatirkan umat Islam berlebih-lebihan dan terlalu mengagung-agungkan kuburan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika ditampakkan.
Imam al Qurthubi berkata,”Oleh karena itulah, kaum muslimin berusaha semampu mungkin menutup jalan yang mengarah kepada pemujaan kuburan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan cara meninggikan dinding tanahnya dan menutup rapat pintu-pintu masuk ke arahnya dengan menjadikan dindingnya mengitari kuburan beliau. Mereka pun takut apabila letak kuburan beliau n dijadikan kiblat bagi orang-orang yang melakukan shalat sehingga seakan shalat yang menghadap ke arahnya tersebut merupakan suatu wujud beribadah. Karenanya, mereka kemudian membangun dua dinding dari dua sudut kuburan bagian utara, dan mengalihkan keduanya hingga bertemu pada sudut yang membentuk segitiga dari arah utara sehingga tidak memungkinkan siapa pun untuk menghadap ke arah kuburan beliau.”
3. Diriwayatkan oleh Muslim dari Jundub bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Aku mendengar bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda lima hari sebelum beliau wafat, ‘Sungguh aku menyatakan kesetiaanku kepada Allah dengan menolak, bahwa aku mempunyai seorang khalil (kekasih mulia) di antara kamu, karena sesungguhnya Allah telah menjadikan aku sebagai khalil. Seandainya aku menjadikan seorang khalil dari umatku, niscaya aku akan menjadikan Abu Bakar sebagai khalil. Ketahuilah bahwa sesungguhnya umat-umat sebelum kamu telah menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai tempat ibadah, maka janganlah kamu sekalian menjadikan kubur sebagai tempat ibadah, karena aku benar-benar melarang kamu melakukan perbuatan itu.’”
Al Khalili berkata,”Pengingkaran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap perbuatan mereka tersebut dapat diartikan dengan dua makna. Pertama, mereka bersujud terhadap kuburan para nabi untuk mengagungkan utusan Allah tersebut. Kedua, mereka memang menganggap boleh melakukan shalat di kuburan para nabi dan menghadap ke arah ketika melakukan shalat, karena mereka memandang hal itu sebagai bentuk ibadah kepada Allah dan cerminan sikap pengagungan yang sangat kepada para nabi tersebut.
Makna pertama merupakan syirik jaliy (bentuk syirik yang jelas). Sedangkan makna kedua merupakan syirik khafiy (bentuk syirik yang tersembunyi). Oleh karena itu, mereka layak untuk dilaknat.”
Syaikh Shalih Alu asy Syaikh berkata,”Keterkaitan hadits ini dengan permasalahan sikap keras Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharamkan menjadikan kuburan para nabi dan orang-orang shalih sebagai masjid (tempat ibadah), meskipun mungkin saja orang yang melakukannya beribadah hanya kepada Allah.
Hal itu, karena perbuatan tersebut termasuk di antara sarana-sarana yang mengantarkan kepada syirik besar. Telah ditetapkan di dalam kaidah-kaidah syariat dan telah disepakati oleh para muhaqqiq, bahwa menutup pintu (celah) yang mengantarkan kepada kesyirikan dan kepada perbuatan haram adalah wajib; karena syariat datang untuk menutup pokok-pokok perbuatan-perbuatan haram dan menutup celah-celah menuju kepadanya. Sehingga wajib menutup setiap pintu dari pintu-pintu kesyirikan kepada Allah. Di antara pintu-pintu itu ialah, menjadikan kuburan para nabi dan orang-orang shalih sebagai masjid. Karena itu, tidak sah shalat yang dilakukan di dalam masjid yang dibangun di atas kuburan karena hal itu menafikan larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang, namun orang-orang itu melakukannya, padahal larangan beliau tertuju kepada tempat shalat itu dilakukan sehingga shalatnya pun batal. Jadi, orang yang shalat di dalam masjid yang dibangun di atas kuburan, maka shalatnya batal, tidak sah berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘ketahuilah, janganlah kalian menjadikan kuburan sebagai masjid’, maksudnya, dengan membangun masjid di atasnya dan shalat di sekitarnya, ‘karena sungguh aku larang kalian darinya’.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,”Rasulullah n , (pada) menjelang akhir hayatnya (sebagaimana dinyatakan dalam hadits Jundub) telah melarang umatnya untuk menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah. Kemudian, tatkala dalam keadaan hendak diambil nyawanya –sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah– beliau melaknat orang yang melakukan perbuatan itu. Shalat di sekitar kuburan termasuk pula dalam pengertian menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah walaupun tidak membangunnya. Inilah makna kata-kata Aisyah ‘dikhawatirkan akan dijadikan sebagai tempat ibadah’, karena para sahabat belum pernah membangun masjid (tempat ibadah) di sekitar kubur beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal setiap tempat yang digunakan untuk melakukan shalat di dalamnya, itu berarti sudah dijadikan sebagai masjid; bahkan setiap tempat yang dipergunakan untuk shalat disebut masjid sebagai yang telah disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Telah dijadikan bumi ini untukku sebagai masjid dan sebagai sarana bersuci.”.
Kesimpulannya : Shalat di kuburan tidak boleh, baik itu shalat menghadap ke arahnya, atau shalat di dekatnya karena mengharap berkah tempat tersebut, atau tidak mengharap berkahnya, tetapi hanya shalat nafilah (selain shalat jenazah). Semua itu tidak boleh. Baik di atas kuburan itu ada bangunan, seperti masjid, atau tidak bangunan di atasnya, maka shalat di atasnya tetap tidak boleh.
Di dalam Shahih al Bukhari, terdapat hadits bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jadikanlah di antara shalat kalian itu dilakukan di rumah-rumah kalian, dan jangan di kuburan.” Juga disebutkan di dalam Shahih al Bukhari perkataan beliau kepada Umar Radhiyallahu ‘anhu ketika melihat sekelompok orang shalat di dekat sebuah kubur ‘kuburan, kuburan’, maksud beliau, jauhilah kuburan, jauhilah kuburan. Ini menunjukkan, shalat di kuburan tidak diperbolehkan, karena merupakan pengantar kepada kesyirikan. Lebih parah lagi jika di kuburan tersebut dibangun bangunan, lalu menjadikan bangunan-bangunan sekitar kuburan itu sebagai masjid untuk shalat, berdoa, membaca al Qur`an, dan semisalnya.
Maraji:
  1. Fath al Majid Syarh Kitab at Tauhid.
  2. At Tamhid li Syarhi Kitab at Tauhid, karya Syaikh Shalih Alu Syaikh.
  3. Al Qaul al Mufid, Jilid I, karya Syaikh Muhammad Shalih al Utsaimin.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
Read more >>

Wanita yang Berpakaian Tapi Telanjang, Sadarlah!


Saat ini sangat berbeda dengan beberapa tahun silam. Sekarang para wanita sudah banyak yang mulai membuka aurat. Bukan hanya kepala yang dibuka atau telapak kaki, yang di mana kedua bagian ini wajib ditutupi. Namun, sekarang ini sudah banyak yang berani membuka paha dengan memakai celana atau rok setinggi betis. Ya Allah, kepada Engkaulah kami mengadu, melihat kondisi zaman yang semakin rusak ini.
Kami tidak tahu beberapa tahun mendatang, mungkin kondisinya akan semakin parah dan lebih parah dari saat ini. Mungkin beberapa tahun lagi, berpakaian ala barat yang transparan dan sangat memamerkan aurat akan menjadi budaya kaum muslimin. Semoga Allah melindungi keluarga kita dan generasi kaum muslimin dari musibah ini.

Tanda Benarnya Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat: [1] Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan [2] para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim no. 2128)
Hadits ini merupakan tanda mukjizat kenabian. Kedua golongan ini sudah ada di zaman kita saat ini. Hadits ini sangat mencela dua golongan semacam ini. Kerusakan seperti ini tidak muncul di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena sucinya zaman beliau, namun kerusakan ini baru terjadi setelah masa beliau hidup (Lihat Syarh Muslim, 9/240 dan Faidul Qodir, 4/275).
Wahai Rabbku. Dan zaman ini lebih nyata lagi terjadi dan kerusakannya lebih parah.

Saudariku, pahamilah makna ‘kasiyatun ‘ariyatun

An Nawawi dalam Syarh Muslim ketika menjelaskan hadits di atas mengatakan bahwa ada beberapa makna kasiyatun ‘ariyatun.

Makna pertama: wanita yang mendapat nikmat Allah, namun enggan bersyukur kepada-Nya.

Makna kedua: wanita yang mengenakan pakaian, namun kosong dari amalan kebaikan dan tidak mau mengutamakan akhiratnya serta enggan melakukan ketaatan kepada Allah.

Makna ketiga: wanita yang menyingkap sebagian anggota tubuhnya, sengaja menampakkan keindahan tubuhnya. Inilah yang dimaksud wanita yang berpakaian tetapi telanjang.

Makna keempat: wanita yang memakai pakaian tipis sehingga nampak bagian dalam tubuhnya. Wanita tersebut berpakaian, namun sebenarnya telanjang. (Lihat Syarh Muslim, 9/240)
Pengertian yang disampaikan An Nawawi di atas, ada yang bermakna konkrit dan ada yang bermakna maknawi (abstrak). Begitu pula dijelaskan oleh ulama lainnya sebagai berikut.
Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah mengatakan, “Makna kasiyatun ‘ariyatun adalah para wanita yang memakai pakaian yang tipis yang menggambarkan bentuk tubuhnya, pakaian tersebut belum menutupi (anggota tubuh yang wajib ditutupi dengan sempurna). Mereka memang berpakaian, namun pada hakikatnya mereka telanjang.” (Jilbab Al Mar’ah Muslimah, 125-126)
Al Munawi dalam Faidul Qodir mengatakan mengenai makna kasiyatun ‘ariyatun, “Senyatanya memang wanita tersebut berpakaian, namun sebenarnya dia telanjang. Karena wanita tersebut mengenakan pakaian yang tipis sehingga dapat menampakkan kulitnya. Makna lainnya adalah dia menampakkan perhiasannya, namun tidak mau mengenakan pakaian takwa. Makna lainnya adalah dia mendapatkan nikmat, namun enggan untuk bersyukur pada Allah. Makna lainnya lagi adalah dia berpakaian, namun kosong dari amalan kebaikan. Makna lainnya lagi adalah dia menutup sebagian badannya, namun dia membuka sebagian anggota tubuhnya (yang wajib ditutupi) untuk menampakkan keindahan dirinya.” (Faidul Qodir, 4/275)
Hal yang sama juga dikatakan oleh Ibnul Jauziy. Beliau mengatakan bahwa makna kasiyatun ‘ariyatun ada tiga makna.

Pertama: wanita yang memakai pakaian tipis, sehingga nampak bagian dalam tubuhnya. Wanita seperti ini memang memakai jilbab, namun sebenarnya dia telanjang.

Kedua: wanita yang membuka sebagian anggota tubuhnya (yang wajib ditutup). Wanita ini sebenarnya telanjang.

Ketiga: wanita yang mendapatkan nikmat Allah, namun kosong dari syukur kepada-Nya. (Kasyful Musykil min Haditsi Ash Shohihain, 1/1031)

Kesimpulannya adalah kasiyatun ‘ariyat dapat kita maknakan: wanita yang memakai pakaian tipis sehingga nampak bagian dalam tubuhnya dan wanita yang membuka sebagian aurat yang wajib dia tutup.

Tidakkah Engkau Takut dengan Ancaman Ini

Lihatlah ancaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Memakaian pakaian tetapi sebenarnya telanjang, dikatakan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan sekian dan sekian.”
Perhatikanlah saudariku, ancaman ini bukanlah ancaman biasa. Perkara ini bukan perkara sepele. Dosanya bukan hanya dosa kecil. Lihatlah ancaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas. Wanita seperti ini dikatakan tidak akan masuk surga dan bau surga saja tidak akan dicium. Tidakkah kita takut dengan ancaman seperti ini?
An Nawawi rahimahullah menjelaskan maksud sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘wanita tersebut tidak akan masuk surga’. Inti dari penjelasan beliau rahimahullah:
Jika wanita tersebut menghalalkan perbuatan ini yang sebenarnya haram dan dia pun sudah mengetahui keharaman hal ini, namun masih menganggap halal untuk membuka anggota tubuhnya yang wajib ditutup (atau menghalalkan memakai pakaian yang tipis), maka wanita seperti ini kafir, kekal dalam neraka dan dia tidak akan masuk surga selamanya.
Dapat kita maknakan juga bahwa wanita seperti ini tidak akan masuk surga untuk pertama kalinya. Jika memang dia ahlu tauhid, dia nantinya juga akan masuk surga. Wallahu Ta’ala a’lam. (Lihat Syarh Muslim, 9/240)
Jika ancaman ini telah jelas, lalu kenapa sebagian wanita masih membuka auratnya di khalayak ramai dengan memakai rok hanya setinggi betis? Kenapa mereka begitu senangnya memamerkan paha di depan orang lain? Kenapa mereka masih senang memperlihatkan rambut yang wajib ditutupi? Kenapa mereka masih menampakkan telapak kaki yang juga harus ditutupi? Kenapa pula masih memperlihatkan leher?!

Sadarlah, wahai saudariku! Bangkitlah dari kemalasanmu! Taatilah Allah dan Rasul-Nya! Mulailah dari sekarang untuk merubah diri menjadi yang lebih baik ….
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Read more >>

Peristiwa 11 september dan Stereotip Islam




11 september kemarin adalah hari yang mengingatkan kita akan tragedi WTC 11 September. Sepuluh tahun yang lalu, pada hari selasa pagi yang cerah, 19 orang yang mengatasnamakan Muslim melakukan apa yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya oleh orang Amerika. ke 19 orang ini tidak hanya menyerang gedung yang paling menojol dari langit Manhattan itu, namun mereka juga menyerang inti dari nilai-nilai kebebasan dan toleransi. Hari yang membuat dunia tertegun dan mengguncang rasa aman dan damai. Tahun ini merupakan peringatan ke sepuluh dari peristiwa yang mengerikan tersebut dimana telah banyak acara-acara peringatan dibuat di seluruh dunia.

Serangan 11 september ke gedung kembar WTC sebenarnya - tidak hanya menyisakan luka mendalam yang berkelanjutan bagi keluarga korban atau masyarakat barat - tetapi juga bagi Islam yang dicitrakan buruk oleh dunia. Ibarat pepatah "Karena nila setitik, rusak susu sebelanga."

Islam semakin dihubungkan dengan "kekerasan dan terorisme. Muslim di Amerika tiba-tiba mulai merasa sebagai orang buangan dan terkucilkan. Karena ketidaktahuan dan kepolosan setiap Muslim diasosiakan sebagai teroris.

Upaya reklamasi dari streortif terhadap Islam sebenarnya juga telah dilakukan oleh Muslim di Amerika bahwa tak semua Islam adalah teroris, justru Islam adalah agama damai dan bukan agama kekerasan. tidak ada tempat untuk terorisme dalam Alquran. Sekelompok minoritas yang disebut Islam itu telah mendistorsi makna Islam yang hakiki dan telah digunakan untuk keuntungan duniawi.

Komunitas Muslim Ahmadiyah, organisasi Islam tertua di Amerika Serikat telah mengambil sebuah tindakan dengan menunjukkan kepada masyarakat Amerika makna Islam sebenarnya - tidak hanya dengan kata melainkan tindakan. setelah dua inisiatif telah sukses yaitu "Muslims for Peace" dan "Muslims for Loyality" kembali Komunitas Ahmadiyah meluncurkan sebuah kampanye nasional guna mengenang para korban serangan 11september dengan jalan menyumbangkan darah. inisiatif baru tersebu bernama "Muslims for life".
Muslims for life digagas sebagai upaya untuk menujukkan bahwa islam begitu menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan disamping sebagai upaya untuk menjelaskan kesalahpahaman tentang Islam yang beredar.

Naseem Mahdi, Wakil Amir Ahmadiyah US menulis di Washington Post, "Pada tanggal 9 september 2011 sekitar 3000 nyawa tak berdosa telah direnggut oleh aksi teroris yang mengatasnamakan Islam. sepuluh tahun kemudian, september ini, Komunitas Muslim Ahmadiyah akan mengenang tragedi ini dengan mengorganisir donor darah secara nasional. dengan harapaan terkumpul 10.000 unit darah, sehingga bisa membantu menyuelamatkan sekitra 30.000 nyawa.

"Muslims for life telah diterima dengan baik oleh Presiden obama dan anggota kabinetnya. Dua mobil darah telah digelar di Capitol Hilldan Rayburn and Cannon House Offices. Perwakilan Keith Ellison dan Jackie Speiers berada di anggota parlemen yang ikut menyumbangkan darah.

Perwakilah Speier Jackie, seorang Demokrat dari California menyebut "mobil darah (blood Drive) sebagai "Pernyataan yang sangat kuat"

"Ketika kami memperingati perayaan 10 tahun peristiwa 11 september, saya pikir itu sangat penging bagi kita untuk introspeksi dan menemukan cara mengekspresikan rasa sakit dan kesedihan yang berlanjut untuk mereka yang kehilangan orang yang dicintai dengan cara yang khusuk dan mabuk adalah hal yang juga memiliki nilai positif. dan saya berpikir jauh lebih positif dengan memberikan satu pint darah untuk mereka yang membutuhkan."

Dari Los Angeles ke New York, dan Detroir ke Austin, di 145 kota, 250 mobil donor darah telah terdaftar. Tindakan kemanusiaan yang melintasi ras, warna kulit, agama dan etnis. ini adalah cata yang paling luar biasa untuk membawa orang-orang dari semua latar belakang untuk berpartisipasi dalam suatu kegiatan yang diharapkan untuk membangun jembatan dan menyembuhkan luka-luka yang tetap terbuka selam sepuluh tahun terakhir.
Read more >>

Falsafah Shalat Lima Waktu

Apa sebenarnya makna dari shalat lima waktu? Shalat lima waktu sebenarnya merupakan gambaran dari berbagai kondisi kita yang berbeda-beda sepanjang hari. Kita melewati lima tahapan kondisi pada saat sedang mengalami musibah dan fitrat alamiah kita menuntut bahwa kita harus melewatinya. Pertama, adalah ketika kita mendapat gambaran bahwa kita akan menghadapi musibah. Sebagai contoh, bayangkan ada surat panggilan bagi kita untuk menghadap ke suatu pengadilan. Kondisi pertama ini akan langsung meruyak rasa ketenangan dan keteduhan kita. Kondisi seperti menerima surat panggilan pengadilan ini mirip dengan saat ketika matahari mulai menggelincir. Sejalan dengan kondisi keruhanian tersebut ditetapkanlah shalat Dhuhur yaitu ketika matahari mulai menggelincir.

Kita mengalami kondisi kedua ketika kita sepertinya mendekat kepada tempat musibah terjadi. Sebagai contoh, setelah ditahan berdasar surat panggilan, tiba waktunya kita diajukan ke hadapan hakim. Pada saat demikian kita merasakan kegalauan perasaan dan beranggapan bahwa semua rasa keamanan telah meninggalkan diri kita. Kondisi seperti itu mirip dengan keadaan ketika sinar matahari mulai suram dan manusia bisa melihat matahari secara langsung serta menyadari bahwa sebentar lagi matahari itu akan terbenam. Sejalan dengan kondisi keruhanian seperti itu maka ditetapkanlah shalat Ashar.

Kondisi ketiga adalah keadaan ketika kita merasa kehilangan segala harapan memperoleh keselamatan dari musibah. Sebagai contoh, setelah mencatat bukti-bukti tuntutan yang akan membawa kehancuran diri kita, kita didakwa dengan bentuk pelanggaran dimana telah disiapkan surat dakwaan. Pada saat demikian, kita merasa sepertinya kehilangan semua indera dan mulai berfikir menganggap diri sebagai narapidana. Kondisi seperti itu mirip dengan saat ketika matahari terbenam dan harapan melihat terang hari sudah pupus karenanya. Diperintahkanlah shalat Maghrib yang sejalan dengan kondisi keruhanian demikian.

Kondisi keempat adalah ketika kita ditimpa musibah secara langsung dimana kegelapannya yang kelam telah menyelimuti diri kita. Sebagai contoh, setelah pembacaan bukti-bukti maka kita sepertinya lalu divonis dan diserahkan untuk dipenjarakan. Kondisi seperti itu mirip dengan keadaan malam ketika semuanya diselimuti kegelapan yang kelam. Untuk kondisi keruhanian seperti itu ditetapkanlah shalat Isya.

Setelah menghabiskan satu kurun waktu dalam kegelapan dan penderitaan, datanglah rahmat Ilahi yang meluap mengemuka dan menyelamatkan kita dari kegelapan dengan datangnya fajar yang menggantikan kegelapan malam dimana sinar pagi mulai muncul. Shalat Subuh ditetapkan untuk kondisi keruhanian seperti itu.

Berdasarkan kelima kondisi yang berubah terus tersebut maka Allah s.w.t. telah mengatur shalat lima waktu bagi kita. Dengan demikian kita bisa memahami bahwa shalat tersebut diatur waktunya bagi kemaslahatan kalbu kita sendiri. Bila kita menginginkan keselamatan dari segala musibah, janganlah kita sampai mengabaikan shalat lima waktu karena semua itu merupakan refleksi dari kondisi internal dan keruhanian kita. Shalat merupakan obat penawar bagi segala musibah yang mungkin mengancam. Kita tidak pernah mengetahui keadaan bagaimana yang dibawa oleh hari berikutnya. Karena itu sebelum awal hari, mohonlah kepada Tuhan kita yang Maha Abadi agar hari tersebut menjadi sumber kemaslahatan dan keberkatan bagi kita.
Read more >>

Berkhidmat Pada Suami

Pulang dari bekerja, semestinya adalah waktu untuk beristrirahat bagi suami selaku kepala rumah tangga. Namun banyak kita jumpai fenomena di mana mereka justru masih disibukkan dengan segala macam pekerjaan rumah tangga sementara sang istri malah ngerumpi di rumah tetangga. Bagaimana istri shalihah menyikapi hal ini?
Salah satu sifat istri shalihah yang menandakan bagusnya interaksi kepada suaminya adalah berkhidmat kepada sang suami dan membantu pekerjaannya sebatas yang ia mampu. Ia tidak akan membiarkan sang suami melayani dirinya sendiri sementara ia duduk berpangku tangan menyaksikan apa yang dilakukan suaminya. Ia merasa enggan bila suaminya sampai tersibukkan dengan pekerjaan-pekerjaan rumah, memasak, mencuci, merapikan tempat tidur, dan semisalnya, sementara ia masih mampu untuk menanganinya. Sehingga tidak mengherankan bila kita mendapati seorang istri shalihah menyibukkan harinya dengan memberikan pelayanan kepada suaminya, mulai dari menyiapkan tempat tidurnya, makan dan minumnya, pakaiannya, dan kebutuhan suami lainnya. Semua dilakukan dengan penuh kerelaan dan kelapangan hati disertai niat ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan sungguh ini merupakan bentuk perbuatan ihsannya kepada suami, yang diharapkan darinya ia akan beroleh kebaikan.
Berkhidmat kepada suami ini telah dilakukan oleh wanita-wanita utama lagi mulia dari kalangan shahabiyyah, seperti yang dilakukan Asma’ bintu Abi Bakar Ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhuma yang berkhidmat kepada Az-Zubair ibnul Awwam radhiallahu ‘anhu, suaminya. Ia mengurusi hewan tunggangan suaminya, memberi makan dan minum kudanya, menjahit dan menambal embernya, serta mengadon tepung untuk membuat kue. Ia yang memikul biji-bijian dari tanah milik suaminya sementara jarak tempat tinggalnya dengan tanah tersebut sekitar 2/3 farsakh1.” (HR. Bukhari no. 5224 dan Muslim no. 2182)
Demikian pula khidmatnya Fathimah bintu Rasulillah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumah suaminya, Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, sampai-sampai kedua tangannya lecet karena menggiling gandum. Ketika Fathimah datang ke tempat ayahnya untuk meminta seorang pembantu, sang ayah yang mulia memberikan bimbingan kepada yang lebih baik:

أَلاَ أَدُلُّكُماَ عَلَى ماَ هُوَ خَيْرٌ لَكُماَ مِنْ خاَدِمٍ؟ إِذَا أَوَيْتُماَ إِلَى فِرَاشِكُماَ أَوْ أَخَذْتُماَ مَضاَجِعَكُماَ فَكَبَّرَا أًَرْبَعاً وَثَلاَثِيْنَ وَسَبَّحاَ ثَلاَثاً وَثَلاَثِيْنَ وَحَمِّدَا ثَلاَثاً وَثَلاثِيْنَ، فَهَذَا خَيْرٌ لَكُماَ مِنْ خاَدِمٍ

“Maukah aku tunjukkan kepada kalian berdua apa yang lebih baik bagi kalian daripada seorang pembantu? Apabila kalian mendatangi tempat tidur kalian atau ingin berbaring, bacalah Allahu Akbar 34 kali, Subhanallah 33 kali, dan Alhamdulillah 33 kali. Ini lebih baik bagi kalian daripada seorang pembantu.” (HR. Al-Bukhari no. 6318 dan Muslim no. 2727)
Shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu, menikahi seorang janda untuk berkhidmat padanya dengan mengurusi saudara-saudara perempuannya yang masih kecil. Jabir berkisah: “Ayahku meninggal dan ia meninggalkan 7 atau 9 anak perempuan. Maka aku pun menikahi seorang janda. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya padaku:

تَزَوَّجْتَ ياَ جاَبِر؟ فَقُلْتُ: نَعَمْ. فَقاَلَ: بِكْرًا أَمْ ثَيِّباً؟ قُلْتُ: بَلْ ثَيِّباً. قاَلَ: فَهَلاَّ جاَرِيَةً تُلاَعِبُهاَ وَتُلاَعِبُكَ، وَتُضاَحِكُهاَ وَتُضاَحِكُكَ؟ قاَلَ فَقُلْتُ لَهُ: إِنَّ عَبْدَ اللهِ هَلَكَ وَ تَرَكَ بَناَتٍ، وَإِنِّي كَرِهْتُ أَنْ أَجِيْئَهُنَّ بِمِثْلِهِنَّ، فَتَزَوَّجْتُ امْرَأَةً تَقُوْمُ عَلَيْهِنَّ وَتُصْلِحُهُنَّ. فَقاَلَ: باَرَكَ اللهُ لَكَ، أَوْ قاَلَ: خَيْرًا

“Apakah engkau sudah menikah, wahai Jabir?”
“Sudah,” jawabku.
“Dengan gadis atau janda?” tanya beliau.
“Dengan janda,” jawabku.
“Mengapa engkau tidak menikah dengan gadis, sehingga engkau bisa bermain-main dengannya dan ia bermain-main denganmu. Dan engkau bisa tertawa bersamanya dan ia bisa tertawa bersamamu?” tanya beliau.
“Ayahku, Abdullah, meninggal dan ia meninggalkan anak-anak perempuan dan aku tidak suka mendatangkan di tengah-tengah mereka wanita yang sama dengan mereka. Maka aku pun menikahi seorang wanita yang bisa mengurusi dan merawat mereka,” jawabku.
Beliau berkata: “Semoga Allah memberkahimu”, atau beliau berkata: “Semoga kebaikan bagimu.” (HR. Al-Bukhari no. 5367 dan Muslim no. 1466)
Hushain bin Mihshan berkata: “Bibiku berkisah padaku, ia berkata: “Aku pernah mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena suatu kebutuhan, beliaupun bertanya:

أَيْ هذِهِ! أَذَاتُ بَعْلٍ؟ قُلْتُ: نَعَم. قاَلَ: كَيْفَ أَنْتِ لَهُ؟ قُلْتُ: ماَ آلُوْهُ إِلاَّ ماَ عَجَزْتُ عَنْهُ. قاَلَ: فَانْظُرِيْ أَيْنَ أَنْتِ مِنْهُ، فَإِنَّماَ هُوَ جَنَّتُكَ وَناَرُكَ

“Wahai wanita, apakah engkau telah bersuami?”
“Iya,” jawabku.
“Bagaimana engkau terhadap suamimu?” tanya beliau.
“Aku tidak mengurang-ngurangi dalam mentaatinya dan berkhidmat padanya, kecuali apa yang aku tidak mampu menunaikannya,” jawabku.
“Lihatlah di mana keberadaanmu terhadap suamimu, karena dia adalah surga dan nerakamu,” sabda beliau. (HR. Ibnu Abi Syaibah dan selainnya, dishahihkan sanadnya oleh Asy-Syaikh Al- Albani rahimahullah dalam Adabuz Zifaf, hal. 179)
Namun di sisi lain, suami yang baik tentunya tidak membebani istrinya dengan pekerjaan yang tidak mampu dipikulnya. Bahkan ia melihat dan memperhatikan keberadaan istrinya kapan sekiranya ia butuh bantuan.
Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam gambaran suami yang terbaik. Di tengah kesibukan mengurusi umat dan dakwah di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala, beliau menyempatkan membantu keluarganya dan mengerjakan apa yang bisa beliau kerjakan untuk dirinya sendiri tanpa membebankan kepada istrinya, sebagaimana diberitakan istri beliau, Aisyah radhiallahu ‘anha ketika Al-Aswad bin Yazid bertanya kepadanya:

ماَ كاَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُ فِي الْبَيْتِ؟ قاَلَتْ: كاَنَ يَكُوْنُ فِيْ مِهْنَةِ أَهْلِهِ –تَعْنِي خِدْمَةَ أَهْلِهِ- فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ خَرَجَ إِلَى الصَّلاَةِ

“Apa yang biasa dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam rumah?”
Aisyah radhiallahu ‘anha menjawab: “Beliau biasa membantu pekerjaan istrinya. Bila tiba waktu shalat, beliau pun keluar untuk mengerjakan shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 676, 5363)
Dalam riwayat lain, Aisyah radhiallahu ‘anha menyebutkan pekerjaan yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan di rumahnya:

ماَ يَصْنَعُ أَحَدُكُمْ فِيْ بَيْتِهِ، يَخْصِفُ النَّعْلَ وَيَرْقَعُ الثَّوْبَ وَيُخِيْطُ

“Beliau mengerjakan apa yang biasa dikerjakan salah seorang kalian di rumahnya. Beliau menambal sandalnya, menambal bajunya, dan menjahitnya.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 540, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 419 dan Al-Misykat no. 5822)

كاَنَ بَشَرًا مِنَ الْبَشَرِ، يَفْلِي ثَوْبَهُ وَيَحْلُبُ شاَتَهُ

“Beliau manusia biasa. Beliau menambal pakaiannya dan memeras susu kambingnya”. (HR. Al- Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 541, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 420 dan Ash-Shahihah 671)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Read more >>

JIHAD ISLAM dilakukan bukan Untuk Menyebarkan Agama

Sekarang ini jihad dengan menggunakan pedang berarti memenggal Islam dengan pedang. Sekarang ini adalah masa untuk memenangkan kalbu-kalbu manusia.. Dan hal ini tidak dapat dilakukan dengan pemaksaan.

Ada kritikan terhadap Islam yang menyatakan bahwa Rasulullah saw lah yang pertama-tama mengangkat pedang. Itu sama sekali salah. Sampai 13 tahun lamanya Rasulullah saw dan para sahabat tetap bersabar diri. Kemudian, walau para musuh terus saja mengejar-ngejar, beliau saw sangat ingin agar terjadi perdamaian dan tidak terjadi peperangan. Dan kaum-kaum musyrik yang ingin berdamai, maka kepada mereka diberi jaminan keamanan serta kedamaian.

Islam telah berupaya menghendaki agar menghindarkan diri dari peperangan, melalui kerumitan yang sangat tinggi. Landasan peperangan justru dipaparkan sendiri oleh Allah ta'ala. Yakni, dikarenakan orang-orang Islam sudah sangat teraniaya, dan kepada mereka ditimpakan berbagai macam penderitaan, oleh sebab itu Allah ta'ala mengizinkan supaya mereka melawan orang-orang itu. Sebab jika tidak demikianseandainya yang ada yang ada ialah rasa dengki permusuhan, maka yang harus diperintahkan adalah supaya orang-orang Islam melakukan peperangan untuk menyebarluaskan agama. Namun justru yang diperintahkan adalah: "lama ikrooha fiddiiin" (QS 2:257) yakni tiada paksaan dalam agama.

Dan ketika kekejaman serta penganiayaan yang melampaui batas dilakukan terhadap orang Islam, maka barulah diperintahkan untuk melawan.
Read more >>
Subscribe in a reader